Kamis, 24 September 2015

PROPOSAL PENGGEMUKAN SAPI BALI 4





Jurnal Ilmu Peternakan, Juni 2008, hal. 41 50 Vol. 3 No.1 ISSN 1907 2821
Pengembangan Model Sederhana Pembibitan Sapi Bali di Papua
(Simple Model Development of Bali Cattle Breeding Program in Papua)
Agustinus Gatot Murwanto
Staf Pengajar Jurusan Produksi Ternak FPPK UNIPA 

ABSTRACT
This paper discusses a simple model breeding program for Bali cattle that can be practicable and economically feasible under Papua conditions. Bali cattle (Bos sondaicus, Bos javanicus, Bos banteng) is an indigenous cattle that plays an important role in livestock development in Indonesia. The average characteristics performances of Bali cattle are: male birth weight is 17 kg and female 14 kg, age at sexual maturity for both male and female is 16 month, Adult liveweight for male is 475 kg and female is 250 kg, daily weight gain is beetwen 200-600 gr, carcass weight is 200 kg, dressing persentage is 56%. It is concluded that the model breeding program of Bali cattle in Papua must be simple in structure, simple recording and natural mating reproduction.. Farmers involvement becomes a key for development.in the implementation of the model, based on economic values.
Key words: Bali cattle, simple breeding program, Bos sondaicus, Bos javanicus, Bos banteng
PENDAHULUAN
Upaya pemerintah saat ini dalam upaya penyediaan daging, khususnya daging sapi belum dapat dipenuhi dari peternakan sapi potong dari dalam negeri. Untuk memenuhi kebutuhan daging, maka dilakukan impor daging beku dan sapi bakalan dari Australia. Populasi sapi potong pada tahun 2007 berjumlah sekitar 11.365.873 ekor dan produksi daging sapi sekitar 418.207 ton (Dirjen Peternakan, 2007). Usaha pengembangan peternakan sapi potong masih didominasi oleh peternak kecil yang tinggal di pedesaan, sedangkan perusahaan peterna- kan sapi potong masih sangat sedikit. Jumlah sapi Bali di Indonesia sekitar 30 persen dari populasi sapi yang ada (Talib, 2002), sedangkan jenis sapi lainya adalah sapi Sumba Ongole, Peranakan Ongole, Madura, Brahman, Limousin dan Simental.
Pengembangan sapi potong di daerah Papua yang mencakup Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat, juga masih mengalami banyak kendala, terutama
terbatasnya bibit sapi baik dari segi kuantitas dan kualitas genetik. Sebagian besar sekitar 90 persen sapi potong di daerah Papua merupakan sapi Bali. Sampai saat ini dinas terkait untuk memenuhi kebutuhan bibit sapi Bali bagi para peternak masih mendatangkan dari luar Papua, misalnya dari NTT, NTB dan Pulau Seram. Populasi sapi potong tahun 2007 di Provinsi Papua sebanyak 53.085 ekor dan produksi daging sapi sebanyak 2.144 ton (FPPK Unipa dan Dinas Peternakan Papua, 2008), sedangkan di Provinsi Papua Barat sebanyak 36.150 ekor dan produksi daging sapi sebanyak 720 ton (FPPK Unipa dan Dinas Pertanian Peternakan dan Ketahanan Pangan, 2008).
Untuk mengatasi masalah ketersediaan bibit sapi Bali dan daging sapi untuk daerah Papua, maka perlu dikembangkan suatu model pembibitan sederhana sapi Bali yang dapat diimplementasikan di daerah ini. Model pembibitan yang akan dikembangkan harus sederhana, tidak menggunakan teknologi reproduksi yang
42 MURWANTO
Jurnal Ilmu Peternakan
tinggi dan menggunakan model pencatat- an yang sederhana. Hal tersebut disebab- kan karena kondisi dan karakteristik peternak sapi Bali di daerah ini. Di samping itu model yang dikembangkan harus memungkinkan secara ekonomis untuk dilaksanakan, dan mempunyai nilai ekonomis yang menarik bagi peternak.
Tujuan penulisan ini adalah untuk membahas keragaman genetik populasi sapi Bali, produktivitas, reproduksi dan produksi sapi Bali, dan model sederhana pembibitan sapi Bali di Papua.
KERAGAMAN GENETIK DAN POPULASI SAPI BALI
Terdapat kurang lebih 795 bangsa sapi yang menyebar di berbagai penjuru dunia (Payne dan Hodges, 1997). Walaupun demikian semuanya termasuk dalam genus Bos dari famili Bovidae. Secara umum sapi dapat dikelompokkan menjadi dua spesies sapi: Bos taurus yaitu sapi Eropa dan sebagian kecil sapi Afrika, Bos indicus yaitu sapi anak benua India dan sebagian besar sapi Afrika. Di samping itu, di Amerika ada bison (Bos bison) dan Bos sondaicus (Bibos banteng, Bos javanicus) yang dikenal sebagai sapi Bali atau sapi Banteng yang terdapat di Indonesia dan negara-negara Asia Teng- gara lainnya, serta bagian utara Australia. Payne dan Hodges (1997) mengemuka- kan jumlah kromosom Bos taurus, Bos indicus, dan Bos sondaicus adalah sama (2n =60).
Sapi bali mempunyai ciri-ciri fisik yang seragam, dan hanya mengalami perubahan kecil dibandingkan dengan leluhurnya banteng. Warna sapi bali betina, anak atau dara umumnya coklat muda dengan garis hitam tipis di se- panjang tengah punggung. Warna sapi jantan pada saat muda sama dengan warna sapi betina, namun setelah puber- tas atau sekitar umur 12-18 bulan akan
berubah warna menjadi agak gelap, dan pada sapi dewasa menjadi hitam. Kecuali bila dikastrasi sapi jantan akan tetap berwarna coklat. Pada kedua jenis kelamin terdapat warna putih pada bagian belakang paha kaki belakang, bagian bawah perut, keempat kaki bagian sampai di bagian atas kuku (white stocking). Bagian dalam telinga, dan pada pinggiran bibir atas (Payne dan Rollinson, 1973).
Disamping pola warna yang umum, terdapat beberapa penyimpangan warna sapi Bali seperti yang dikemukanan oleh (Hardjosubroto dan Astuti, 1993), yaitu: a) Sapi injin adalah sapi Bali yang
warna bulu tubuhnya hitam sejak kecil, warna bulu telingabagian dalam juga hitam, pada sapi jantan walaupun dikastrasi tidak terjadi perubahan warna.
b) Sapi mores adalah sapi Bali yang semestinya pada bagian bawah tubuh berwarna putih, tetapi ada warna hitam atau merah.
c) Sapi tutul adalah sapi Bali yang bertutul-tutul putih pada bagian tubuhnya.
d) Sapi bang adalah sapi Bali yang kaos putih pada kakinya berwarna merah.
e) Sapi candang adalah sapi Bali yang dahinya berwarna putih
f) Sapi panjut adalah sapi Bali yang ujung ekornya berwarna putih.
Hasil penelitian Handiwirawan (2003) terjadi penyimpangan warna sapi Bali sampai 17%, dan yang paling banyak warna kaos kaki putih pada kaki tercampur warna merah bata, coklat atau hitam. Disamping itu ditemukan sapi injin sebanyak 0,3% dan sapi tutul sebanyak 0,7%.
Sapi Bali jantan dan betina mempu- nyai tanduk, yang berbeda dalam ukuran dan bentuknya dan terdapat variasi lain- nya. Hasil penelitian Handiwirawan (2003) pada sapi jantan terdapat 7 macam
Vol. 3, 2008 PENGEMBANGAN MODEL SEDERHANA PEMBIBITAN 43
bentuk dan pada betina 12 macam bentuk tanduk pada sapi Bali di pulau Bali.
Jenis-jenis protein di dalam darah maupun susu dapat menunjukkan poli- morphisme yang merupakan cerminan adanya variasi genetis pada sapi Bali. Namikawa et al. (1982) yang disitasi Hendriawan dan Subandryo (2004) melaporkan adanya keragaman genetik sapi Bali dari hasil pengujian 15 lokus enzim dan protein darah. Disamping penggunaan protein darah dan enzim, digunakan pula DNA mikrosatelit me- rupakan salah satu penciri genetik DNA yang mempunyai polimorphisme tinggi. Winaya (2000), dari 16 lokus DNA sapi Bali menemukan keragaman pada se- bagain besar lokus DNA mikrosatelit tersebut, hanya pada lokus HEL9 yang monomorfik.
Data parameter genetik, misalnya heritabilitas, ripitabilitas dan korelasi genetik pada sifat-sifat sapi Bali masih sangat terbatas. Penelitian di P3Bali di- peroleh bahwa sapi Bali mempunyai heritabilitas berat sapih sebesar 0,15±0.05 dan heritabilitas berat badan umur 1 tahun sebesar, 0,31±0,08 (Pane, 1990)
Di Indonesia sapi Bali telah berkembang di berbagai wilayah, ter- masuk di Papua. Daerah sumber bibit sapi Bali di Indonesia saat ini adalah provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), Sulawesi Selatan (Sulsel), Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Lampung. Jumlah sapi Bali di Indonesia sekitar 30 persen dari populasi sapi yang ada (Talib, 2002), sedangkan di Papua lebih dari 90 persen sapi potong yang ada merupakan sapi Bali. Populasi sapi potong di Indonesia tahun 2007 sekitar 11.365.873 ekor dan di Papua (dua provinsi) sekitar 89.902 ekor (Dirjen Peternakan, 2007), dengan demikian di Indonesia akan terdapat sapi Bali sekitar 3.409.762 ekor, dan di Papua lebih dari 80.912 ekor. Sentra populasi sapi di Papua terdapat di Kabupaten Merauke, Kabupaten Manokwari, Kabu- paten Jayapura, dan Kabupaten Sorong.
Perkembangan populasi sapi di Indonesia sangat mengawatirkan, karena dari tahun ke tahun cenderung mengalami penurunan rata-rata 1,5 persen. Populasi sapi Bali di berbagai provinsi dapat dilihat pada Tabel 1 di bawah ini.
Tabel 1. Populasi Sapi Bali (ekor) di Indonesia Tahun 1998-2001
Lokasi 1998 1999
NTT 633.704 633.451 NTB 429.847 374.970 Bali 524.615 526.013 Lampung 331.502 278.360 Sulawesi Selatan 823.245 749.393 % 5 provinsi 91.03 78,64 Total Indonesia 3.013.174 3.257.993
Sumber: Talib et al. (2003).
Perkiraan persentase sapi Bali dengan bangsa sapi lainnya dapat di lihat pada Tabel 2 di bawah ini.
2000 2001
442.940 472.626 376.526 392.090 529.064 533.042 254.823 256.312 718.139 751.277 79,96 81,10 2.916.944 2.965.610
Pertumbuhan (%)
-25,4 -8,8 1,6 -22,6 -,8.7
-1,5
44 MURWANTO Jurnal Ilmu Peternakan Tabel 2. Perkiraan Persentase Sapi Bali Dibandingkan Bangsa Sapi Lainnya
Pulau
Sumatera
Jawa
Kalimantan
Bali dan Nusa Tenggara Sulawesi

Maluku dan Papua
Sumba Ongole (SO) 12,97 54,97 13,30 9,90
9,17
-
Peranakan Ongole (PO)
6,42 74,58 0,85 4,02 14,13 -
Bali Madura
6,68 6,12
2,17 81,52 44,70 2,02 5,26 5,48 40,78 4,81
0,46 -
Lainnya
26,58 54,27 2,89 1,36 13,17 1,72
Sumber: Hardjosubroto (2004) PRODUKTIVITAS REPRODUKSI
DAN PRODUKSI SAPI BALI
Produktivitas reproduksi sapi Bali cukup baik, bila sistem pemeliharaan
Tabel 3. Performans Reproduksi Sapi Bali
terutama bila nutrisi cukup tersedia baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Be- berapa sifat reproduksi sapi Bali di beberapa daerah di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 3.
Lokasi
NTT
NTB
Bali
Sulawesi Selatan P3Bali
Umur Pubertas Betina (bulan)
23
22 20,7 24 20
Umur Pubertas jantan (bulan)
Interval Persentase Beranak Beranak
(hari) (%)
521 70 507 72 530 69 480 76 450 81
Concepti on Rate (%)
-
- 85,9 - 89,0
Sumber: Handiwirawan dan Subandriyo (2004)
Menurut Fordyce et al. (2004) per- formans reproduksi sapi Bali betina: umur pubertas antara 12-24 bulan dengan bobot badan 100-150 kg; panjang siklus birahi 21 hari dan akan lebih pendek bila kondisi pakan tidak baik; birahi umum- nya pada malam hari dengan lama 18-19 jam; kebuntingan biasanya terjadi setelah
Tabel 4. Performans Produksi Sapi Bali
dua kali perkawinan, lama kebuntingan antara 280-290 hari; rata-rata berat lahir 17kg, dan kematian anak sekitar 2-40%.
Performans produksi sapi Bali di- bandingkan dengan sapi-sapi Eropa jauh lebih rendah. Bobot badan sapi Bali pada berbagai umur di beberapa daerah dapat dilihat pada Tabel 4.
26 26 25 28 24
Provinsi
NTT
NTB
Bali
Sulawesi Selatan
Bobot Lahir (kg)
11,9±1,8 12,7±0,7 16,8±1,6 12,3±0,9
Bobot Sapih (kg)
79,2±18,2 83,9±25,9 82,9±8,2 64,4±12,5
Bobot Umur 1 Tahun (kg)
100,3±12,4 129,7±15,1 127,5±5,7 99,2±10,4
Bobot Saat Pubertas (kg)
179,8±14,8 182,6±48,0 170,4±17,4 225,2±23,9
Bobot Dewasa Induk (kg)
221,5±45,5 241,9±28,5 303,3±4,9 211,0±18,4
Sumber: Talib et al. (2003).
Pertambahan bobot badan sapi Bali bervariasi tergantung dari kuantitas dan
kualitas pakan yang diberikan dan sistem pemeliharaan. Pertambahan bobot badan
Vol. 3, 2008 PENGEMBANGAN MODEL SEDERHANA PEMBIBITAN 45
pada percobaan mencapai 313,88gr/ekor /hari (Amril, 1990), 690-820 gr/ekor/hari (Sumarmi, et al., 1985). Pada pemelihara- an secara ekstensif di bawah pohon kelapa sawit di daerah Lembah Prafi Manokwari pertambahan bobot badan yang rendah sekitar 0,03-0,20gr/ekor/hari (Isir, 2008). Di daerah NTT pertambahan berat badan sapi Bali pada musim hujan untuk sapi jantan sebesar 430 gr/ekor/hari dan sapi betina sebesar 470 gr/ekor/hari (Wirdahayati dan Bamualim, 1990). Hasil penelitian Mastika (2004) menun- jukkan bahwa pertambahan bobot badan sapi Bali antara 320-760 gr/ekor/hari; total konsumsi pakan 375,20-502,88 kg bahan kering; konversi pakan 5,08-11,01.
Kualitas karkas sapi Bali menurut Payne dan Rollinson (1973), persentase karkas sapi Bali 52,0-57,7%, komposisi karkas (kg/100kg): tulang (14,72-16,95) kg, daging (69,24-71,03) kg, dan lemak (13,81-14,25) kg. Skor kualitas daging sapi Bali 5,90-7,80 (Mastika, 2004).
MODEL SEDERHANA PEMBIBITAN SAPI BALI DI PAPUA
Pengembangan Pembibitan dan Masalah Pembibitan Ternak Sapi di Indonesia
Pembibitan ternak di negara-negara berkembang, seperti Indonesia umumnya belum menjadi prioritas dalam pem- bangunan bidang peternakan. Hal ini menurut penulis disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain: (1) belum adanya kebijakan peningkatan mutu ternak yang baik secara nasional; (2) terbatasnya dana yang disediakan untuk program pembibitan; (3) suatu program pemuliaan ternak membutuhkan waktu yang sangat panjang, terutama program seleksi: (4) terbatasnya tenaga ahli dalam genetik dan pemuliaan ternak, walaupun saat ini di Indonesia sudah mulai ada
sarjana peternakan yang tertarik dalam bidang tersebut; (5) sejarah perkembang- an peternakan yang lebih singkat, di- bandingkan dengan negara-negara maju; (6) terbatasnya jumlah ternak yang dimiliki peternak dan masih sedikitnya perusahaan swasta yang bergerak dalam bisnis pembibitan ternak; (7) tidak cukup- nya bibit unggul ternak secara kuantitas dan kualitas; (8) adanya keragaman yang tinggi pada ternak-ternak bibit; (9) para peternak belum memperhatikan penting- nya perbaikan mutu ternak dan mem- punyai tingkat pendidikan yang umum- nya rendah, sehingga terhambatnya proses transfer teknologi.
Beberapa program kegiatan yang menyangkut perbibitan di Indonesia antara lain: (1) Permurnian: (a) proteksi bangsa tertentu, misalnya sapi Bali di pulau Bali dan Sumba Ongole di pulau Sumba, (b) seleksi untuk menghasilkan pejantan dan induk terpilih, misalnya P3Bali dan Brangusisasi, (c) uji per- formans untuk menghasilkan calon induk dan pejantan teruji, misalnya P3Bali dan Brangusisasi, dan (d) uji zuriat untuk menghasilkan sapi induk dan penjantan teruji, misalnya P3Bali; (2) Persilangan antara bangsa sapi; misalnya persilangan Ongole dengan Simmental atau Brahman dengan Simmental (3) rekayasa genetik untuk menghasilkan embrio elit, dan kelompok/kawanan sapi elit; dan (4) Pembesaran untuk digemukkan dan dipotong (final stock).
Utoyo (2003) mengemukakan bahwa di Indonesia terdapat tiga kategori pembibit ternak, yaitu: (1) Pusat Pem- bibitan Pedesaan (Village Breeding Centres/VBC) yang jumlahnya mencapai 90 persen petani peternak, terutama sapi potong, kambing, domba dan itik; (2) perusahaan pembibitan swasta yang menghasilkan bibit ayam petelur, ayam pedaging, dan babi; (3) stasiun pemuliaan ternak pemerintah, misalnya Pusat
46 MURWANTO
Jurnal Ilmu Peternakan
Embrio Transfer Ternak di Cipelang, Balai Inseminasi Buatan di Singosari dan Lembang, dan Pusat-pusat pembibitan di Indrapuri (Aceh), Siborong-borong (Su- matera Utara), Padangmangantas (Su- matera Barat), Sembawa (Sumatera Selatan), Baturaden (Jawa Tengah), dan Pleihari (Kalimantan Selatan). Di pulau Bali terdapat program pemuliaan ternak sapi Bali yang dikenal dengan Proyek Pembibitan dan Pengembangan Sapi Bali (P3Bali).
Model Pembibitan Sederhana Ternak Sapi Bali di Papua
Model pembibitan sederhana ini dapat dilakukan di kabupaten-kabupaten yang mempunyai populasi sapi Bali yang cukup besar yang dapat dijadikan daerah sumber bibit, yaitu Kabupaten Merauke, Kabupaten Jayapura, Kabupaten Keerom, Kabupaten Nabire, Kabupaten Mano- kwari, dan Kabupaten Sorong. Pengem- bangan model pembibitan ini melibatkan peternak sapi Bali, Dinas Peternakan, dan Universitas Negeri Papua (Unipa).
Model pembibitan sapi Bali di Papua dapat dilihat pada Gambar 1 di bawah ini.
Peternak Sapi Bibit Di Luar Wilayah Pembibitan
Para Peternak Sapi di Distrik A
- Seleksi
Para Peternak Sapi di Distrik B -Seleksi
Pusat Pembibitan Sapi Bali (Dispet&Unipa)
-Seleksi
-Uji Performans

-Uji Zuriat
- Penggemukan - Pasar/Penjagal
Para Peternak Sapi di Distrik C -Seleksi
Para Peternak Sapi di Distrik D - Seleksi
Peternak Sapi Bibit Di Luar Wilayah Pembibitan
- Penggemukan - Pasar/Penjagal
Gambar 1 Model Sederhana Pembibitan Sapi Bali di Papua
Prinsip umum pembibitan sapi Bali di Papua:
1. Program pembibitan ternak sapi Bali hanya dilakukan di kabupaten yang menjadi pusat populasi sapi Bali, baik di Provinsi Papua maupun
2.
Provinsi Papua Barat. Wilayah Pem- bibitan merupakan distrik-distrik yang masuk dalam program pem- bibitan.
Program pemuliaan ternak yang dilakukan seleksi individu dan sifat- sifat yang dicatat hanya yang mudah
Vol. 3, 2008 PENGEMBANGAN MODEL SEDERHANA PEMBIBITAN 47
diukur oleh peternak dan membutuh- kan alat yang sederhana dan murah, yaitu: lingkar dada, panjang badan, tinggi badan, dan lingkar perut. Sifat-sifat tersebut berkorelasi dengan berat badan.
  1. Model pencatatan (recording) yang dikembangkan oleh Pusat Pembibit- an dibuat sederhana agar mudah diisi oleh peternak. Pengelolaan pen- catatan dilakukan oleh petugas dari Pusat Pembibitan.
  2. Metode perkawinan yang digunakan adalah perkawinan alamiah. Peng- gunaan teknik inseminasi buatan dengan semen beku tidak dianjurkan pada peternak di distrik-distrik. Sedangkan di pusat pembibitan metode perkawinan dengan in- seminasi buatan dengan semen beku hanya dilakukan bila tersedia dana yang cukup. Penggunaan inseminasi buatan dengan semen beku tidak dilakukan karena sebagian besar sapi tidak dikandangkan, jumlah dan kualitas inseminator tidak memadai, dan teknik ini membutuhkan biaya yang besar.
  3. Jumlah sapi yang terlibat dalam wilayah pembibitan sebanyak 1000- 3000 ekor.
Peran dan fungsi masing-masin unsur dalam pembibitan:
  1. Dinas Peternakan: menyediakan biaya untuk membangun pusat pembibitan dan bekerja sama dengan pihak Unipa dalam merancang dan mengelola pusat pembibitan dan membina peternak melalui petugas lapang.
  2. Unipa: menyediakan tenaga ahli dalam bidang genetik dan pemuliaan ternak dan bekerja sama dengan dinas peternakan dalam merancang dan mengelola pusat pembibitan dan membina peternak, merancang
model pencatatan sapi dan mengada- kan pelatihan pencatatan kepada peternak sapi, pelatihan manajemen pemeliharaan dan pakan ternak sapi.
3. Peternak sapi Bali: bersedia meng- ikuti program pembibitan secara keseluruhan. Sebelum mengikuti program pembibitan para peternak akan diberikan penjelasan oleh petugas khusus dari dinas peternakan dan Unipa. Peternak di setiap distrik berkelompok atau membentuk grup berdasarkan kesatuan kampung (desa). Kelompok-kelompok di kam- pung-kampung atau desa-desa tersebut akan membentuk satu kelompok di setiap distrik.
4. Pusat Pembibitan Sapi Bali: mengelola seluruh sistem pembibitan yang dilakukan, menyediakan bibit induk dan pejantan bagi peternak, membeli sapi yang berkualitas sebagai bibit dari peternak terpaksa harus menjual sapinya karena suatu kebutuhan. Pusat pembibitan akan melakukan seleksi, uji performans dan uji zuriat. Pusat pembibitan dapat pula berfungsi untuk pelatihan bagi peternak asli Papua yang akan menjadi peternak sapi potong. Pusat pembibitan juga menyediakan sapi bibit Sapi untuk daerah-daerah di luar wilayah pembibitan.
Proses Pelaksanaan Program Pembibitan
1. Pembuatan pusat pembibitan seluas 100 ha yang letaknya paling strategis dan mudah dijangkau dari distrik- distrik yang mengikuti program tersebut. Pusat pembibitan akan menyediakan pula sapi penjantan pemacek dan induk bibit untuk peternak, juga menyediakan sapi bakalan untuk penggemukkan. Per- siapan terhadap peternak, dengan melakukan pertemuan-pertemuan dengan kelompok-kelompok pe-
48 MURWANTO
Jurnal Ilmu Peternakan
ternak sapi untuk sosialisai program, pelatihan deteksi birahi, pelatihan melakukan pencatatan, dan aspek- aspek lainnya yang berkaitan dengan program yang akan dilakukan.
  1. Seleksi terhadap pejantan pemacek di seluruh distrik yang masuk dalam sistem atau program pembibitan yang dilakukan. Pejantan terpilih hanya yang masuk rangking tertinggi 25 persen. Sapi-sapi jantan yang tidak terpilih dikastrasi dan di- gemukkan untuk dipotong. Jumlah pejantan untuk setiap distrik di- sesuaikan dengan jumlah induk sapi dengan rasio jantan: betina sebesar 1:25. Sisa sapi pejantan pemacek yang tidak digunakan di distrik dibeli oleh Pusat pembibitan. Pe- jantan pemacek tidak digunakan melebihi 3 tahun. Dasar seleksi pejantan pada karakteristik sapi Bali, ukuran tubuh dan kualitas sperma- nya.
  2. Seleksi terhadap induk bibit di se- luruh distrik. Induk-induk yang digunakan hanya yang masuk dalam rangking tertinggi 25 persen dan disebut induk bibit kelas I. Hasil perkawinan antara pejantan pemacek dengan induk bibit kelas I ditujukan terutama untuk persediaan ternak pengganti (replacements livestock) untuk pejantan pemacek dan induk bibit bila dibutuhkan dikemudian hari. Sedangkan hasil perkawinan antara pejantan pemacek dengan induk bibit kelas II yaitu yang termasuk dalam rangking tertinggi 26 persen sampai dengan 50 persen akan dipelihara untuk digemukkan dan dipotong. Induk-induk sapi di luar kelompok kelas I dan kelas II, dapat dijual atau digemukkan untuk dipotong. Dasar seleksi untuk induk adalah karakteristik sapi Bali, ukuran tubuh dan faktor-faktor reproduksi,
misalnya tidak majir (mandul), tidak pernah mengalami distokia, dan jarak beranak.
4. Perkawinan yang dilakukan secara alamiah, tidak menggunakan teknik inseminasi buatan dengan semen beku.
5. Hasil bibit sapi Bali yang dihasilkan oleh peternak dan Pusat Pembibitan akan disebarkan kepada peternak lainya di luar wilayah pembibitan atau ke peternak di luar kabupaten yang tidak mempunyai program pembibitan.
6. Peternak juga akan menghasilkan bakalan untuk usaha penggemukkan dan sapi yang akan dijual kepada penjagal untuk dipotong.
Faktor Penunjang Pembibitan
  1. Pengawasan yang ketat terhadap pemotongan sapi oleh para penjagal. Pemotongan untuk sapi pejantan pemacek, induk-induk kelas I dan induk kelas II, harus ada alasan yang sangat kuat dan surat harus dikeluar- kan oleh ketua kelompok peternak di kampung/desa dan harus diketahui ketua kelompok peternak tingkat distrik dan kepala pusat pembibitan. Untuk lebih kuatnya pengawasan dapat dikeluarkan Peraturan Daerah (Perda) atau Instruksi Bupati tentang pemotongan ternak sapi bibit.
  2. Tersedianya dana talangan yang tersedia setiap saat di Pusat Pembibitan, untuk membeli sapi bibit yang terpaksa dijual peternak karena alasan tertentu. Dengan demikian sapi-sapi yang mempunyai kualitas genetik baik tidak akan hilang.
  3. Pengembangan usaha penggemuk- kan di setiap distrik.
Vol. 3, 2008 PENGEMBANGAN MODEL SEDERHANA PEMBIBITAN 49
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
  1. Daerah Papua mempunyai peluang untuk menjadi pusat populasi sapi Bali di Indonesia, karena daya dukung wilayah sangat mendukung, misalnya tersedianya lahan dan hijauan pakan tersedia sepanjang tahun.
  2. Model Pembibitan Sapi Bali di Papua harus mempunyai struktur sederhana sehingga mudah diimplementasikan, metode pencatatan yang sederhana, perkawinan secara alamiah, dan menarik secara ekonomis bagi peternak.
  3. Pengembangan Pusat Pembibitan Sapi Bali di beberapa kabupaten di daerah Papua dapat menggunakan dana yang selama ini digunakan untuk program pemasukkan sapi Bali dari luar Papua. Program pemasuk- kan sapi Bali dapat dihapuskan dan dananya digunakan untuk membuat Pusat Pembibitan Sapi Bali. Pe- masukkan sapi hanya dibatasi untuk sapi-sapi bibit.
  4. Model Pembibitan Sederhana Sapi Bali di Papua dapat dilakukan bila ada dukungan dari berbagai pihak: peternak sapi, dinas peternakan, Unipa, pemerintah daerah dan pemerintah pusat
Saran
Implementasi model pembibitan ini perlu memperhatikan kondisi dan situasi daerah yang akan dikembangkan menjadi daerah penghasil bibit sapi Bali.
DAFTAR PUSTAKA
Amril, M.A, Rasyid, S, dan Hasan, S. 1990. Rumput Lapangan dan Jerami Padi Amoniasi Sebagai Sumber Hijauan Dalam Penggemukan Sapi Bali Jantan Dengan
Makanan Penguat. Dalam Proseding Seminar Nasionar Sapi Bali. Fakultas Peternakan Udayana. Denpasar.
Dirjen Peternakan. 2007. Statistik Peternakan 2007. Direktorat Jenderal Peternakan. Departemen Pertanian RI. Jakarta.
Fordyce, G, Panjaitan, T, Muzani, dan Poppi, D. 2004. Management to Facilitate Genetic Improvement of Bali Cattle in Eastern Indonesia. In Strategies to improve Bali cattle in Eastern Indonesia. ACIAR Proceeding No. 110. pp:23-28
FPPK Unipa dan Dinas Peternakan, 2008. Monitoring dan Evaluasi Pembangunan Peternakan Provinsi Papua. Fakultas Peternakan Perikanan dan Ilmu Kelautan Unipa dan Dinas Peternakan Provinsi Papua. Manokwari.
FPPK Unipa dan Dinas Pertanian Peternakan dan Ketahanan Pangan, 2008. Monitoring dan Evaluasi Pembangunan Peternakan Provinsi Papua Barat. Fakultas Peternakan Perikanan dan Ilmu Kelautan Unipa dan Dinas Pertanian Peternakan dan Ketahanan Pangan Provinsi Papua Barat. Manokwari.
Handiwirawan, E. 2003. Penggunaan Mikrosatelit HEL9 dan INRA03 Sebagai Penciri Khas Sapi Bali. (Tesis). Institut Pertanian Bogor. (tidak diterbitkan)
Handiwirawan, E dan Subandriyo. 2004. Potensi dan Keragaman Sumberdaya Genetik Sapi Bali. Wartazoa 14(3):107-115.
Hardjosubroto, W. 2004. Alternatif Kebijakan Pengelolaan Berkelanjutan Sumberdaya Genetik Sapi Potong Lokal dalam Sistem Perbibitan Ternak Nasional. Wartazoa 14(3): 93-97.
Isir, D. 2008. Performans Sapi Bali (Bos sondaicus) yang Digembalakan di Bawah Naungan Kelapa Sawit. (Skripsi) Sarjana Peternakan. FPPK Unipa. Manokwari. (tidak diterbitkan)
Mastika, I. M. 2004. Feeding Strategies to Improve the Production Performance and Meat Quality of Bali Cattle (Bos sondaicus). In Strategies to improve Bali cattle in Eastern
50 MURWANTO
Jurnal Ilmu Peternakan
Indonesia. ACIAR Proceeding No. 110. pp:10-13
Pane, I. Upaya Peningkatan Mutu Genetik Sapi Bali di P3Bali. Dalam Proseding Seminar Nasionar Sapi Bali. Fakultas Peternakan Udayana. Denpasar. pp:A42-46.
Payne, W.J.A dan Hodges, J. 1997. Tropical Cattle. Origin, Breeds and Breeding Policies. Blackwell Science.Ltd. Oxford.
Payne, W.J.A dan Rollinson, D.H.L. 1973. Bali Cattle. World. Anim. Rev. 7:13-21.
Sumarmi, Mosofie, A dan Wardhani, N.K. 1985. Pengaruh Pemberian Wafer Pucuk Tebu Terhadap Pertambahan Berat Badan Sapi Bali Jantan. Dalam Seminar Pemanfaatan Limbah Tebu Untuk Pakan Ternak. Grati.
Talib, C. 2002. Sapi Bali di Daerah Sumber Bibit dan Peluang Pengembangannya. Wartazoa 12(3): 100-107.
Talib, C, Entwistle, K, Siregar, A, Budiarti- Turner, S, dan Lindsay. 2003. Survey of Population and Production Dynamics Bali Cattle and Existing Breeding Programs in Indonesia. In Strategies to improve Bali cattle in Eastern Indonesia. ACIAR Proceeding No. 110. pp:3-9
Utoyo, D.P. 2003. Economic Issues at a National and Regional Level. In Strategies to improve Bali cattle in Eastern Indonesia. ACIAR Proceeding No. 110. pp:86-88
Winaya, A. 2000. Penggunaan Penanda Molekuler Mikrosatelit Untuk Deteksi Polimorfisme dan Analisis Filogenetik Genom Sapi. (Tesis) Institut Pertanian Bogor (tidak diterbitkan)
Wirdahayati, R.B dan Bamualim, A. 1990. Penampilan Produksi dan Struktur Populasi Ternak Sapi Bali di Pulau Timor, Nusa Tenggara Timur. Dalam Proseding Seminar Nasionar Sapi Bali. Fakultas Peternakan Udayana. Denpasar. pp:c1-c5