USAHA PENGEMBANGAN SAPI BALI SEBAGAI TERNAK LOKAL DALAM MENUNJANG PEMENUHAN KEBUTUHAN PROTEIN ASAL HEWANI DI INDONENSIA
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pembangunan
sub-sektor peternakan merupakan bagian dari pembangunan sektor
pertanian, dimana sektor memiliki nilai strategis dalam memenuhi
kebutuhan pakan yang terus meningkat atas bertambahnya jumlah penduduk
Indonensia, dan peningkatan rata-rata pendapatan penduduk Indonesia dan
taraf hidup pertani dan nelayan. Keberhasilan
pembangunan tersebut ternyata berdampak pada perubahan konsumsi
masyarakat yang semula lebih banyak mengkonsumsi karbohidrat ke arah
konsumsi seperti daging, telur, susu (Putu, et al., 1997). Lebih lanjut dijelaskan bahwa
permintaan akan telur dan daging ayam dalam negeri saat ini telah dapat
dipenuhi oleh produksi lokal, akan tetapi susu dan daging sapi masih
memerlukan pasokan dari luar negeri. Berbagai
usaha pembangunan peternakan telah diupayakan oleh pemerintah sampai ke
pelosok daerah namun masih terdapat kekurangan produksi yang akan
mensuplay kebutuhan penduduk Indonesia akan protein hewani.
Kondisi
peternakan sapi potong saat ini masih mengalami kekurangan pasokan sapi
bakalan lokal karena pertambahan populasi tidak seimbang dengan
kebutuhan nasional, sehingga terjadi impor sapi potong bakalan dan
daging (Putu, et al., 1997). Kebutuhan daging sapi di
Indonesia saat ini dipasok dari tiga pemasok yaitu ; peternakan rakyat
(ternak lokal), industri peternakan rakyat (hasil penggemukan sapi
ex-import) dan impor daging (Oetoro, 1997). Selanjutnya
dijelaskan bahwa untuk tetap menjaga keseimbangan antara penawaran dan
permintaan ternak potong, usaha peternakan rakyat tetap menjadi tumpuan
utama, namun tetap menjaga kelestarian sumberdaya ternak sehingga setiap
tahun mendapat tambahan akhir positif.
Sapi Bali merupakan breed sapi asli Indonesia mempunyai potensi yang besar, diharapkan dapat mensuplay sebagian dari kekurangan tersebut. Sapi
Bali mempunyai populasi dengan jumlah 2.632.125 ekor atau sekitar
26,92% dari total populasi sapi potong yang ada di Indonesia (Anonimus,
1999). Adapun perbandingan populasi sapi Ongole,
Peranakan Ongole, Bali, sapi Madura dan sapi lainnya Tahun 1988 dapat
dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Jumlah populasi sapi Ongole, Peranakan Ongole, Bali dan sapi Madura Tahun 1988*
Bangsa
|
Jumlah
|
Persentase
|
Ongole
Peranakan Ongole
Bali
Madura
Lainnya
|
260.094
773.165
2.632.125
1.131.375
4.979.830
|
2.66
8.17
26.92
11.57
50.68
|
*Anonimus, (1999).
Tabel
1 menunjukkan bahwa di Indonesia sapi potong masih didominasi sapi
lainnya yang di impor dari negara lain misalnya Australia, dan tidak
menutup kemungkinan bahwa jika perhatian ke ternak lokal tidak sedini
mungkin di antisipasi maka ternak lokal akan semakin terkuras
populasinya.
Di Indonesia perkembangan sapi Bali sangat cepat dibanding dengan breed potong lainnya, hal tersebut disebabkan breed
ini lebih diminati oleh petani kecil karena beberapa keunggulannya yang
antara laian, tingkat kesuburunnya tinggi, sebagai sapi pekerja yang
baik dan efesien serta dapat memanfaatkan hijauan yang kurang bergizi
dimana breed lainnya tidak dapat (Moran, 1990),
persentase karkas tinggi, daging tanpa lemak, heterosis positif tinggi
pada persilangan (Pane, 1990), daya adaptasi yang tinggi terhadap
lingkungan dan persentase beranak dapat mencapai 80 persen (Ngadiyono,
1997). Selain beberapa keunggulan di atas
terdapat juga beberapa kekurangan yakni bahwa sapi Bali pertumbuhannya
lambat, rentan terhadap penyakit tertentu misalnya; penyakit jembrana,
peka terhadap penyakit ingusan (malignant catarrhal fever) dan Bali ziekte (Darmaja, 1980; Hardjosubroto, 1994).
Permasalahan
ü Permasalahan
yang coba diangkat dalam makalah ini adalah masalah pemenuhan konsumsi
protein hewani asal sapi potong yang belum terpenuhi, sehingga impor
untuk memenuhi kebutuhan tersebut dari tahun ke tahun masih dilakukan.
ü Adanya
potensi ternak sapi lokal yang bisa lebih dikembangkan dengan manajemen
yang lebih baik, untuk meningkatkan produktivitas ternak sapi baik dari
segi kuantitas maupun kualitas.
ü Pola perkembangan sapi yang dapat dilakukan untuk menanggulangi keadaan tersebut.
ü Program
pemuliaan untuk menunjang tercapainya produksi baik melalui cara
peningkatan bobot potong atau meningkatkan populasi ternak lokal.
ü
TINJAUAN PUSTAKA
Sapi Bali
Sapi Bali merupakan sapi potong asli Indonesia dan merupakan hasil domestikasi dari Banteng (bibos banteng) (Hardjosubroto, 1994) dan merupakan sapi asli Pulau Bali (Payne dan Rollinson, 1974 dalam Sutan, 1988).
Ditinjau dari sistematika ternak, sapi Bali masuk familia Bovidae, Genus bos dan Sub-Genus Bovine, yang termasuk dalam sub-genus tersebut adalah; Bibos gaurus, Bibos frontalis dan Bibos sondaicus (Hardjosubroto, 1994), sedang Williamson dan Payne (1978) menyatakan bahwa sapi Bali (Bos-Bibos Banteng) yang spesies liarnya adalah banteng termasuk Famili bovidae, Genus bos dan sub-genus bibos. Sapi
Bali mempunyai ciri-ciri khusus antara lain; warna bulu merah bata,
tetapi yang jantan dewasa berubah menjadi hitam (Hardjosubroto, 1994). Satu karakter lain yakni
perubahan warna sapi jantan kebirian dari warna hitam kembali pada
warna semula yakni coklat muda keemasan yang diduga karena makin
tersedianya hormon testosteron sebagai hasil produk testes (Aalfs, 1934
dalam Darmaja, 1980).
Hardjosubroto
(1994) menyatakan bahwa ada tanda-tanda khusus yang harus dipenuhi
sebagai sapi Bali murni, yaitu warna putih pada bagian belakang paha,
pinggiran bibir atas, dan pada paha kaki bawah mulai tarsus dan carpus
sampai batas pinggir atas kuku, bulu pada ujung ekor hitam, bulu pada
bagian dalam telinga putih, terdapat garis belut (garis hitam) yang
jelas pada bagian atas punggung, bentuk tanduk pada jantan yang paling
edial disebut bentuk tanduk silak congklok yaitu
jalannya pertumbuhan tanduk mula-mula dari dasar sedikit keluar lalu
membengkok keatas, kemudian pada ujungnya membengkok sedikit keluar. Pada yang betina bentuk tanduk yang edial yang disebut manggul gangsa yaitu jalannya pertumbuhan tanduk satu garis dengan dahi arah kebelakang sedikit melengkung kebawah dan pada ujungnya sedikit mengarah kebawah dan kedalam, tanduk ini berwarna hitam.
Saat
ini penyebaran sapi Bali telah meluas hampir keseluruh wilayah
Indonesia, konsentrasi sapi Bali terbesar adalah di Sulawesi Selatan,
Pulau Timor, Bali dan Lombok. Pane (1989)
menyatakan bahwa jumlah sapi Bali di Sulawesi Selatan dan Pulau Timor
telah jauh melampaui populasi sapi Bali ditempat asalnya (Pulau Bali).
Pada tahun 1991 ditaksir jumlah sapi Bali di Indonesia sekitar 3,2 juta,
dengan jumlah terbanyak di Sulawesi Selatan (1,8 juta ekor), Nusa
Tenggara Timur (625 ekor) dan Pulau Bali (456 ekor) (Hardjosubroto,
1994.
Produktivitas Sapi Bali
Produktivitas
adalah hasil yang diperoleh dari seekor ternak pada ukuran waktu
tertentu (Hardjosubroto, 1994), dan Seiffert (1978) menyatakan bahwa
produktivitas sapi potong biasanya dinyatakan sebagai fungsi dari
tingkat reproduksi dan pertumbuhan. Wodzicka-Tomaszewska et al.
(1988) menyatakan bahwa aspek produksi seekor ternak tidak dapat
dipisahkan dari reproduksi ternak yang bersangkutan, dapat dikatakan
bahwa tanpa berlangsungnya reproduksi tidak akan terjadi produksi. Dijelaskan pula bahwa tingkat dan efesiensi produksi ternak dibatasi oleh tingkat dan efesiensi reproduksinya. Dalton
(1987) menyatakan bahwa produktivitas nyata ternak merupakan hasil
pengaruh genetik dan lingkungan terhadap komponen-komponen
produktivitas. Selanjutnya Warwick dan Lagetes
(1979) menyatakan bahwa performan seekor ternak merupakan hasil dari
pengaruh faktor keturunan dan pengaruh komulatif dari faktor lingkungan
yang dialami oleh ternak bersangkutan sejak terjadinya pembuahan hingga
saat ternak diukur dan diobservasi. Hardjosubroto
(1994) dan Astuti (1999) menyatakan bahwa faktor genetik ternak
menentukan kemampuan yang dimiliki oleh seekor ternak sedang faktor
lingkungan memberi kesempatan kepada ternak untuk menampilkan
kemampuannya. Ditegaskan pula bahwa seekor ternak
tidak akan menunjukkan penampilan yang baik apabila tidak didukung oleh
lingkungan yang baik dimana ternak hidup atau dipelihara, sebaliknya
lingkungan yang baik tidak menjamin panampilan apabila ternak tidak
memiliki mutu genetik yang baik.
Astuti et al.
(1983) dan Keman (1986) menyatakan bahwa produktivitas ternak potong di
Indonesia masih tergolong rendah dibanding dengan produktivitas dari
ternak sapi di negara-negara yang telah maju dalam bidang peternakannya,
namun demikian Vercoe dan Frisch (1980); Djanuar (1985); Keman (1986)
menyatakan bahwa produktivitas sapi daging dapat ditingkatkan baik
melalui modofikasi lingkungan atau mengubah mutu genetiknya dan dalam
praktek adalah kombinasi antara kedua alternatif diatas.
Trikesowo et al.
(1993) menyatakan bahwa yang termasuk dalam komponen produktivitas sapi
potong adalah jumlah kebuntingan, kelahiran, kematian, panen pedet (calf crop), perbandingan anak jantan dan betina, jarak beranak, bobot sapih, bobot setahun (yearling), bobot potong dan pertambahan bobot badan. Tabel 2 menunjukkan rataan persentase kelahiran, kematian dan calf crop beberapa sapi potong di Indonesia.
Tabel 2. Rataan persentase kelahiran, kematian dan calf crop beberapa sapi potong di Indonesia
Bangsa
|
Kelahiran
|
Kematian
|
Calf crop
|
Brahman
Brahman cross
Ongole
Lokal cross
Bali
|
50,71
47,76
51,04
62,47
52,15a
|
10,35
5,58
4,13
1,62
2,64b
|
48,80
45,87
48,53
62,02
51,40c
|
Sumadi, (1985)
aDarmadja, (1980)
bSutan, (1988)
cPane, (1989)
Berdasarkan
Tabel 2 dapat dilihat bahwa sapi Bali memperlihatkan persentase
kelahiran 52,15% lebih tinggi di banding dengan sapi Brahman 50,71%,
Brahman cross 47,76% dan sapi Ongole 51,04% kecuali Lokal cross (Lx)
62,47%, demikian pula calf crop sapi Bali 51,40% lebih
tinggi dibanding sapi Brahman 48,80%, Brahman cross 45,87% dan sapi
Ongole 48,53% kecuali Lokal cross sebesar 62,02 % serta persentase kematian yang rendah. Hal
tersebut dapat memberi gambaran bahwa produktivitas sapi Bali sebagai
sapi asli Indonesia masih tinggi, namun jika dibandingkan dengan sapi
asal Australia masih tergolong rendah yakni calf crop-nya dapat mencapai 85 % (Trikesowo et al., 1993).
Vercoe
dan Frisch (1980) menyatakan bahwa sifat produksi dan reproduksi
dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain bangsa sapi, keadaan tanah,
kondisi padang rumput, penyakit dan manajemen. Oleh
karena itu perbaikan mutu sapi potong haruslah ditekankan pada
peningkatan sifat produksi dan reproduksi yang ditunjang oleh
pengelolaan yang baik dari segi zooteknis dan bioekonomis.
Adapun penampilan produktivitas sapi Bali di beberapa Provinsi dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Penampilan produktivitas sapi Bali di beberapa Provinsi di Indonesia*
Keterangan
|
Sul.Sel
|
NTT
|
Irja
|
NTB
|
Bali
|
P3Bali
|
Berat Lahir (Kg)
Berat Sapih (Kg)
Berat 1 th, Jantan (kg)
Betina (Kg)
Berat 2 th, Jantan (Kg)
Betina (Kg)
Berat Dewasa, Jantan (kg)
Betina (Kg)
Ukuran Tubuh Dewasa :
Jantan :
Lingkar Dada (cm)
Tinggu gumba (cm)
Panjang badan (cm)
Betina :
Lingkar Dada (cm)
Tinggu gumba (cm)
Panjang badan (cm)
Persentase beranak/th (%)
|
12
70
115
110
210
170
350
225
181,4
122,3
125,6
160,0
105,4
117,2
76
|
12
75
120
110
220
180
335
235
180,4
126,0
134,8
158,6
114,0
118,4
70
|
12,8
73,5
118
111
218
179
352
235
180,6
125,6
132,1
159,2
112,8
118,0
66
|
13
72
117,8
113
222
182
360
238,5
182
125,2
133,6
160,0
112,5
118,0
72
|
16
86
135
125
235
200
395
264
185,5
125,4
142,3
160,8
113,6
118,5
69
|
18
94
145
135
260
225
494
300
198,8
130,1
146,2
174,2
114,4
120,0
86
|
* Pane, (1989).
PEMBAHASAN
Kebutuhan Sapi Potong
Data SUSSENAS tahun 1996 menunjukkan konsumsi daging sapi per kapita penduduk Indonesia
sekita 1.448 kg/tahun. Selanjutnya dijelaskan bahwa peningkatan
kebutuhan tersebut diakibatkan oleh bertambahnya jumlah penduduk dan
peningkatan konsumsi daging per kapita. Konsumsi
daging per kapita tahun 2000, 2003 dan 2006 diperkirakan sekitar 1.476
kg/tahun, 1.549 kg/tahun dan 1.633 kg/tahun (Anonimus, 1998).
Putu et al.
(1997) menyatakan bahwa kondisi peternakan sapi potong saat ini masih
mengalami kekurangan pasokan sapi bakalan lokal karena pertambahan
populasi tidak seimbang dengan kebutuhan nasional, sehingga terjadi impor sapi potong bakalan dan daging. Lanjut dijelaskan bahwa jika dilihat dari trend
permintaan akan daging didalam negeri maka diperkirakan tahun 2000
diperlukan daging sapi sebanyak 670 ribu ton yang setara dengan sapi
siap potong sebanyak empat juta ekor, sementara dari dalam negeri bila
hanya mengandalkan teknologi yang dan kebijaksanaan yang ada dengan
rata-rata peningkatan populasi 2–3% maka akan tersedia sebanyak 395.000
ton daging yang setara dengan 2,5 juta ekor berarti pada tahun 2000 akan
kekurangan sebesar 1,5 juta ekor.
Pada tahun 2003 diperkirakan Indonesia membutuhkan daging sapi sekitar 781.000 ton. Produksi
daging sapi nasional diperkirakan hanya dapat memenuhi 434.300 ton
sehingga akan terjadi kekurangan sebanyak 246.700 ton.
Impor ternak sapi daging sapi meningkat semakin tajam. Pengamatan selama periode tahun 1992-1996 menunjukkan bahwa (i) volume impor ternak sapi (sebagian besar bakalan) meningkat dengan
laju sekitar 43% per tahun, (ii) nilai impor ternak sapi meningkat
sekitar 56% per tahun, (iii) volume impor daging sapi meningkat sekitar
40% per tahun dan (iv) nilai impor daging sapi meningkat sekitar 38% per
tahun. Akibatnya defisit neraca perdagangan
ternak dan daging sapi melonjak dari US$ 19.7 juta pada tahun 1992
menjadi US$ 150.6 juta pada tahun 1996 (Anonimus, 1998).
Hal yang patut mendapat perhatian dalam perkembangan impor ternak sapi adalah pergeseran dari komoditi sapi bibit (cattle breed) ke jenis komoditi sapi bakalan (feeder steers). Pada tahun 1992 komposisi impor ternak sapi kurang lebih 50% sapi bibit dan 50% sapi bakalan. Pada tahun 1996 komposisinya berubah menjadi 2% sapi bibit dan 98% sapi bakalan. Perkembangan semacam ini mencerminkan ketidakmampuan industri pembibitan sapi di Indonesia
untuk mengembangkan bibit unggul asal luar negeri guna meningkatkan
kualitas bibit sapi lokal sebagai upaya mencapai sasaran pertumbuhan
populasi yang diharapkan (Anonimus, 1998). Adapun perkembangan impor ternak dan daging sapi dapat dilihat pada Gambar 1.
Dalam jangka panjang besarnya permintaan konsumsi daging sapi akan menyebabkan penurunan populasi secara nyata, dan apabila pemerintah tidak melakukan upaya yang sungguh-sungguh untuk meningkatkan angka net-increase dan net-calf crop sapi bukan hal yang tidak mungkin Indonesia masih terus akan mengimpor sapi meskipun harganya sangat mahal.
Potensi Pengembangan
Perkembangan populasi sapi potong sejak awal Pelita I (1969) sampai tahun 1996 menunjukkan peningkatan. Pada
tahun 1969 populasi mencapai 4,9 juta ekor dan pada tahun 1994 menjadi
11,367 juta ekor atau mengalami peningkatan 1,8 kali lipat dan pada
tahun 1997 telah mencapai 12,552 juta ekor (Anonimus, 1997), namun
peningkatan populasi sapi potong di Indonesia tidak dapat mengimbangi
permintaan kebutuhan daging secara nasional. Astuti
(1999) menyatakan bahwa beberapa hal yang menyebabkan perkembangan
populasi yang lambat adalah rendahnya produktivitas ternak lokal dan
masih tingginya mortalitas. Lebih jauh
dijelaskan bahwa mengingat kebutuhan daging yang belum terpenuhi dan
konsumsi yang terus meningkat, maka populasi ternak lokal perlu dipacu
perkembangannya dengan peningkatan kelahiran dan penekanan kematian.
Sapi Bali merupakan breed
sapi asli Indonesia yang populasinya telah mencapai 2.632.124 ekor atau
sekitar 26,92 % dari total populasi sapi potong yang ada di Indonesia
(Anonimus, 1999). Penyebaran sapi Bali telah meluas hampir keseluruh wilayah Indonesia. Konsentrasi
sapi Bali terbesar di Sulawesi selatan, Pulau Timor, Bali dan Lombok,
namun kemurnian sapi Bali tetap dipertahankan di Pulau Bali, sebagai
sumber bibit yang pembinaannya dilakukan oleh Proyek Pembibitan dan
Pengembangan Sapi Bali (P3Bali). Hardjosubroto
(1994) dan Soesanto (1997) menyatakan bahwa sapi Bali termasuk sapi
unggul dengan reproduksi tinggi, bobot karkas tinggi, mudah digemukkan
dan mudah beradaptasi dengan lingkungan baru, sehingga dikenal sebagai
sapi perintis. Sebagai sapi asli yang potensi
reproduksinya lebih baik dibanding sapi lainnya maka upaya pengembangan
sapi Bali sangatlah memungkinkan oleh karena juga didukung oleh
kemampuan adaptasi terhadap lingkungan yang sangat tinggi. Martojo
(1989) menyatakan bahwa dalam rangka memenuhi kebutuhan tenaga kerja
dan produksi daging dalam negeri, penggunaan sapi Bali diberbagai
wilayah di Indonesia mempunyai prospek yang sama baiknya.
Dalam perkembangan peternakan sapi Bali telah diperoleh beberapa kemajuan terutama dalam menekan angka kematian pedet. Admadilaga
(1975) menyatakan bahwa angka kematian pedet sapi Bali sebesar 10–80%.
Darmadja (1980) yang melakukan penelitian di Bali memperoleh kematian
pedet sebesar 7,33%, sedang Tanari (1999) pada lokasi yang sama
memperoleh angka kematian pedet yang lebih rendah sebesar 7,26% terhadap
kelahiran atau sebesar 1,84% dari populasi. Kemampuan lain yang dapat diandalkan untuk pengembangan populasi sapi Bali adalah jarak beranak (calving interval) yang cukup baik yakni bisa menghasilkan satu anak satu tahun. Djagra dan Arka (1994) memperoleh calving interval yakni 14 – 15 bulan. Sedang pada tahun 1999 (Tanari, 1999) memperoleh calving interval sebesar 12,19 ± 0,06 bulan hal
tersebut diakibatkan karena manajemen reproduksi yang dilaksanakan di
Bali cukup baik yakni perkawinan rata-rata dilaksanakan dengan teknik
inseminasi buatan, ditunjang oleh biologi reproduksi dari sapi Bali yang cukup baik yakni fertilitasnya tinggi yakni sekitar 83%.
Faktor-faktor
yang perlu diperhatikan dalam melaksanakan perkembangan sapi potong
adalah sumber daya yang tersedia seperti sumberdaya alam, sumber daya
manusia dan sumber daya pakan ternak yang berkesinambungan, selanjutnya
proses budidaya perlu mendapat perhatian meliputi bibit, ekologi dan
teknologi serta lingkungan yang strategis yang secara langsung maupun
tidak langsung mempengaruhi keberhasilan pengembangannya (Putu et al., 1997). Jumlah
rumah tangga peternak sapi potong hingga tahun 1993 hanya sekitar 1,2%
dari penduduk Indonesia atau sekitar 2.566.000 peternak (Anonimus,
1999). Jika masyarakat diberdayakan maka potensi sumber daya manusia sangatlah besar.
Rencana
pengembangan populasi sapi potong tidak terlepas dari daya dukung
wilayah yang meliputi dua hal yaitu ketersediaan ruang tempat ternak
dibudidayakan dan ketersediaan pakan ternak untuk kelangsungan hidupnya.
Anonimus (1998) menyatakan bahwa diperkirakan ketersediaan potensi
pakan hijauan mengalami peningkatan sekitar 3% per tahun selama periode
tahun 1991-1996, yakni dari 31,3 juta ST (satuan ternak) pada tahun 1991
menjadi 36,3 juta ST pada tahun 1996. Oleh karenanya dengan keadaan
struktur populasi yang ada sampai tahun 1999 sebesar 9.099.500 ST, dapat
diprediksi daya tampung tersisa sebesar 27.200,500 ST. Dari potensi ketersedian pakan maka kemungkinan pengembangan populasi kedepan masih sangat memungkinkan.
Anonimus
(1989) menyatakan bahwa distribusi kesediaan pakan antar Wilayah cukup
bervariasi, pada tahun 1996 diperkirakan sebagai berikut; (i) Jawa dan
Bali sekitar 55%, (ii) Sumatra 22%, (iii) Kalimantan 4%, (iv) Sulawesi
11 persen dan (v) wilayah Indonesia lainnya sebanyak 8%. Dalam sepuluh
tahun mendatang diperkirakan distribusi ketersediaan pakan hijauaan
ternak tersebut akan mengalami pergeseran cukup nyata, yakni peranan
wilayah Jawa dan Bali turun menjadi 48%, Sumatra meningkat 33%,
Kalimantan tetap sekitar 4%, Sulawesi menurun menjadi 10% dan wilayah Indonesia lainnya juga menurun menjadi 5%. Hal
tersebut juga akan membuat suatu pergeseran cara beternak terutama di
Jawa dan Bali yang lebih mengarah semakin komersial dan bergeser dari
status usaha sambilan menjadi cabang usahatani
Dalam
melaksanakan pengembangan populasi sapi Bali, penentuan pengeluaran
ternak termasuk pengendalian pemotongan ternak betina produktif perlu
diperhatikan, dan menghitung dengan tepat jumlah
sapi Bali yang dapat dikeluarkan, agar tidak mengganggu keseimbangan
populasinya dari suatu wilayah. Hardjosubroto (1994) menyatakan bahwa out put
sapi potong dari suatu wilayah tertentu agar keseimbangan populasi
ternak potong tersebut tetap konstan dipengaruhi antara lain natural increase,
tingkat kematian ternak, kebutuhan ternak pengganti, jumlah ternak
tersingkir, pemasukan ternak hidup dan besarnya proyeksi kenaikan
populasi ternak di daerah tersebut.
Penelitian out put diberbagai daerah telah banyak dilakukan. Hasil penelitian out put
sapi potong di Daerah IstimewaYogyakarta tahun 1987 sebesar 19,84 %
dari populasi yang terdiri dari 9,54 % sapi muda dan 10,30 % sapi dewasa
(Hardjosubroto, 1987). Budiarto (1991) dalam penelitiannya di Jawa Timur tahun 1989 memperoleh out put
sapi potong sebesar 20,98 % dari populasi, terdiri dari 7,89 % sapi
jantan muda, 3,0% sapi betina muda, 3,35% sapi jantan dewasa dan 6,74%
sapi betina dewasa. Selanjutnya Maskyadji (1992) memperoleh out put
sapi Madura di Pulau Madura sebesar 17% yaitu dari sapi muda jantan dan
betina masing-masing 1,69% dan 1,26 % sedang sapi tua jantan dan betina
masing-masing 6,54% dan 7,56%. Sedang Tanari (1999) memperoleh out put sapi Bali di Pulau Bali sebesar
20,81% yang terdiri dari sapi muda jantan dan betina masing-masing
9,40% dan 3,92%, sedang sapi tua jantan dan betina masing-masing 0,85%
dan 6,6%. Oetoro (1997) melaporkan bahwa secara nasional out put sapi potong pada tahun 1996 sebesar 15,2 % dengan kenaikan populasi 3,5% dan pada tahun 1997 sebesar 14,5% dengan kenaikan populasi 5%. Out put
ternak dari suatu wilayah ditentukan oleh struktur populasi dan rencana
pengembangan atau peningkatan populasi dari wilayah tersebut. Untuk menentukan out put
dari suatu wilayah perlu pertimbangan kebutuhan ternak pengganti yang
akan digunakan untuk perkembangbiakan sehingga populasinya tidak akan
terkuras akibat pengeluaran yang berlebihan.
Pola Pengembangan
Pola pengembangan peternakan rakyat pada prinsipnya terdapat dua model, yakni (i) Pola Swadaya dan (ii) Pola Kemitraan. Pola
swadaya merupakan pola pengembangan peternakan rakyat yang mengandalkan
swadaya dan swadana peternak, baik secara individu maupun kelompok. Sedangkan
pola kemitraan (PIR-NAK) merupakan kerjasama yang saling antara
perusahaan inti dengan peternak rakyat sebagai plasma (Anonimus, 1998). Dijelaskan
pula bahwa dalam kerjasama atau kemitraan ini, seluruh kegiatan
pra-produksi, produksi hingga pasca produksi dilakukan dengan kerjasama
antara plasma dan inti.
Pola
pengembangan peternakan rakyat ini akan menjadi landasan utama dalam
penentuan alternatif kebijakan pemerintah dalam menopang dan mendorong
agribisnis peternakan rakyat berwawasan agribisnis. Apabila persentase
pengembangan ternak swadaya mendominasi pada peternakan rakyat, maka peran pemerintah (government intervention) mempunyai derajat yang cukup tinggi. Namun
demikian apabila kemitraan mendominasi dalam pengembangan peternakan
rakyat, maka peran pemerintah relatif berkurang, karena swastanisasi
usaha peternakan sudah berkembang. Secara sederhana, peran pemerintah dibagi ke dalam tiga bagian, yakni (1) motivator (development agent), (2) fasilitator/services, dan (3) regulator. Derajat
intervensi pemerintah dalam penentuan kebijakan pembangunan peternakan
ditentukan oleh karekteristik pola pengembangan usahaternak rakyat yang
paling dominan.
Pemberdayaan
masyarakat dalam konteks pengembangan peternakan rakyat merupakan
pengembangan agribisnis peternakan yang bertujuan untuk mensejahterakan
petani dalam mengejar ketinggalannya serta dapat meningkatkan
produktivitas ternak khususnya ternak ruminansia (sapi Bali).
Secara prinsip pemberdayaan dalam konteks suatu “proses” mengacu pada upaya proses pemberdayaan ekonomi usaha ternak model mix-Farming, dari existing condition ke optimum condition (part time) dan kemudian diarahkan pada usaha ternak yang sustainable (full time) (Anonimus, 1998). Selanjutnya
dijelaskan bahwa proses pemberdayaan tersebut mengacu pada upaya; (1)
peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani, (2) peningkatan
pertumbuhan populasi ternak ruminansia dan (3) upaya menopang
terbentuknya “sentra produksi ternak ruminansia di Indonesia”. Prinsip
dasar dalam pelaksanaan usaha ternak adalah efesien dan berdaya saing
yang mampu mendorong usaha ternak sebagai usaha pokok serta mampu
mendukung peningkatan produksi daging ternak ruminansia di Indonesia.
Pola Pemuliaan Ternak
Kebutuhan
akan adanya suatu Rancangan Program Pemuliaan Ternak Nasional yang
mempunyai dasar hukum telah lama dirasakan (Martojo, 1989). Selanjutnya
dijelaskan bahwa beberapa gagasan atau usulan telah diajukan pada masa
REPELITA I sampai IV oleh Direktorat Jenderal Peternakan setiap
REPELITA. Penyusunan rancangan pengembangan dan pemuliaan diperlukan analisis daya dukung wilayah. Untuk hal tersebut telah dilaksanakan penelitian potensi wilayah di seluruh Indonesia (Anonimus, 1998). Hasil
yang diperoleh menetapkan wilayah-wilayah pengembangan dengan mengacu
pada ketersediaan pakan ternak dengan perhitungan daya tampung per
satuan Unit Ternak. Sampai tahun 1996
diperkirakan daya tampung sebesar 36,3 juta ST, potensi ini bervariasi
antar provinsi yakni; Jawa dan Bali 55%, Sumatra 22%, Kalimantan 4%,
Sulawesi 11% dan Wilayah Indonesia lainnya 8%. Dengan demikian terdapat beberapa provinsi yang berpotensi untuk pengembangan ruminansia khususnya sapi Bali. Martojo
(1989) menyatakan bahwa pengembangan ruminansia diwilayah tertentu
selanjutnya dilengkapi dengan rancangan peningkatan mutu genetik ternak. Salah
satu cara untuk mempertahankan mutu genetik sapi Bali dan berbagai
bangsa sapi lain di daerah sumber bibit adalah menghitung dengan tepat
jumlah sapi dari berbagai mutu genetik bibit yang dapat dikeluarkan,
seimbang dengan jumlah dan mutu bibit yang perlu dipertahankan sebagai
ternak pengganti. Selain cara tersebut diatas dapat pula dilakukan persilangan sapi Bali dengan berbagai bangsa lain. Martojo
(1989) menyatakan bahwa persilangan sapi Bali dengan berbagai bangsa
lain menghasilkan sapi silangan yang menunjukkan sifat pertumbuhan yang
meningkat sebanyak 50 – 100 %. Hal ini terutama terjadi sebagai hasil persilangan dengan sapi Bos Indicus, Bos Taurus, dan berbagai bangsa baru silangan seperti Santa Gertrudis, Droughtmaster, Belmot Red, Braford, Brangus dan lainnya.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
· Kebutuhan konsumsi daging sapi masyarakat Indonesia
masih mengharapkan import dari negara lain, oleh karena kemampuan
ternak lokal untuk memenuhi kebutuhan konsumsi daging sapi belum
dicapai.
· Untuk
meningkatkan populasi sapi perlu diperhatikan tiga hal yakni; sumber
daya manusia, sumber daya alam dan sumber daya pakan ternak yang
berkesinambungan.
· Pola
kebijakan pengembangan diarahkan pada pola kemitraan sehingga peran
pemerintah lebih hanya kepada pemberi motivator, sebagai fasilitator dan
regulator.
· Diperlukan program pemuliaan untuk mempertahankan atau meningkatkan mutu genetik sapi Bali di Daerah pengembangan.
S a r a n
· Perlu
perhatian dan kebijakan pemerintah yang lebih baik dalam penanganan
pengembangan populasi sapi potong khususnya sapi Bali diberbagai daerah
di Indonesia, dengan memberdayakan petani peternak dan sumber daya pakan
yang melimpah.
· Kontrol
yang ketat terhadap jumlah sapi yang dikeluarkan (dipotong) dengan
memperhatikan jumlah ternak pengganti dan perkiraan peningkatan populasi
tiap tahun, serta pelarangan yang ketat terhadap pemotongan betina
produktif.
· Diperlukan kebijakan pemerintah sebagai
motivator, fasilitator dan regulator untuk lebih menggiatkan peternakan
yang berbasis pada peternakan kerakyatan dengan pola kemitraan.
· Pola pengembangan peternakan sebaiknya diarahkan pada usaha ternak yang sustaianable (full time), untuk lebih meningkatkan kesejahteraan petani (to increase farmer’s levelfare), dan meningkatkan pertumbuhan populasi ternak ruminansia khususnya sapi Bali.
DAFTAR PUSTAKA
Admadilaga, 1975. Kedudukan Usaha Ternak Tradisional dan Perusahaan Ternak dalam Sistem Pembangunan Peternakan. Work Shop Purna Sarjana Ekonomi Peternakan. F.E. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Anonimus, 1998. Kajian
Pola Pengembangan Peternakan Rakyat Berwawasan Agribisnis. Lembaga
Penelitian IPB dan Direktorat Jenderal Peternakan, Departemen Pertanian
Republik Indonesia.
------------, 1999. Buku Statistik Peternakan, Direktorat Jenderal Peternakan. Jakarta.
Astuti, M., W. Hardjosubroto dan S. Lebdosoekajo. 1983. Analisis Jarak Beranak Sapi PO di Kecamatan Cangkringan DIY. Proceeding Pertemuan Ilmiah Ruminansia Besar. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan BP3. Departemen Pertanian, Bogor.
Astuti,
M., 1999. Pemuliaan Ternak, Pengembangan dan Usaha Perbaikan Genetik
Ternak Lokal. Pidato Pengukuhan Guru Besar dalam Ilmu Pemuliaan Ternak
pada Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Budiarto, A., 1991. Produktivitas Sapi Potong di Jawa Timur Tahun 1988-1989. Tesis Pasca Sarjana, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.
Dalton, C. 1987. An Introduction to Practical Animal Breeding. English Language Book Society, Longman.
Darmadja, S.D.N.D. 1980. Setengah Abad Peternakan Sapi Tradisional dalam Ekosistem Pertanian di Bali. Disertasi Universitas Padjajaran, Bandung.
Djagra, I.B., I.B. Arka. 1994. Pembangunan Peternakan Sapi Bali di Propinsi Daerah Tingkat I Bali. Lokakarya Pengembangan Peternakan Sapi di Kawasan Timur Indonesia, tanggal, 6-8 Februari 1994, Mataram
Djanuar, R. 1985. Fisiologi Reproduksi dan Inseminasi Buatan pada Sapi. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Hardjosubroto, W. 1994. Aplikasi Pemuliabiakan Ternak di Lapangan. PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta.
Keman , S., 1986. Keterkaitan Produktivitas Ternak dengan Iklim, Masalah dan Tantangan. Pidato Pengukuhan Guru Besar, Pada Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mata, Yogyakarta.